Membangun Potensi Diri Pada Anak
Oleh. Ahmad Rifai
Anak
adalah anugerah terindah yang diberikan Allah kepada setiap pasangan suami
isteri. Dalam kondisi fitrah, anak –anak dapat dibentuk sesuai dengan harapan
orang tua. Sayangnya, pengetahuan tentang definisi fitrah, pada umumnya kita
terjebak pada satu arti semata,yakni suci alias bersih.
Karena
terperangkap dengan definisi tadi, ruang
gerak untuk membuat rancangan masa depannya
terbatas dan kehilangan arah lantaran orang tua tidak mengetahui bagaimana seharusnya
memperlakukan kertas putih tadi. Dicorat-coretkah tanpa beraturan,
dibiarkan tanpa disentuh atau diremas
hingga menjadi robek?
Pada dasarnya, kertas putih itu
tiada lain adalah permisalan kesucian jiwa anak yang baru lahir yang belum dirusak
oleh perilakuhawa nafsu. Demikian ahli ilmu jiwa barat mengibaratkan. Kata
lainnya tabularasa. Sesungguhnya, fitrah itu memiliki arti lain yang lebih dari
sekedar
sehelai kertas putih bersih
belaka.
Yang semestinya kita tidak sekedar memahami jiwa anak dengan permisalan sehelai kertas putih itu, tetapi lebih jauh
dengan membuat permisalan bahwa fitrah itu
dapat digambarkan bak setumpuk
tanah liat yang belum berbentuk apa pun. Dari sinilah orang tua dituntut
untuk mengubah tanah liat menjadi keramik, patung atau batu bata yang bernilai ekonomis.
Definisi fitrah itu jika
diterjemahkan dalam ilmu jiwa dan tahapan
perkembangan tubuh dan otak, adalah
berupa sikap atau rasa
ingin tahu anak, rasa bahagianya, rasa percaya dirinya,
hingga cermin bangunan akhlak dan
mentalnya yang baik yang dibarengi tindakan kreatif yang bermanfaat bagi
lingkungan dan orang lain.
Kesimpulan fitrah itu adalah
bermuara pada tindakan pengembangan potensi diri anak yang menuntut orang tua
siap untuk menjadi pelatih kehidupan anak-anaknya agar suatu saat nanti, siap
pula menghadapi kehidupan dengan bekal sikap
dan mental yang tangguh, ramah,
mandiri,jujur, rapi, bersih dan bertanggungjawab.
Selama
ini, soal potensi diri anak, hanya diajarkan di kelas-kelas training motivasi semata. Bukan di kelas-kelas yang
melaksanakan Proses Belajar Mengajar(PBM). Tidaklah salah, sekolah gagal dalam
urusan pengembangan dan pembentukan
potensi diri siswa. Mereka tidak mengenal kelebihan dan kekurangan dirinya.
Tidak mengenal diri sendiri secara mendalam.
Tidak heran dengan paradiqma usang
dunia pendidikan kita bukan membuat
anak tumbuh dan berkembang seperti yang diharapkan, malah sebaliknya, mandeg
dan bahkan kehilangan potensi dirinya.
Paradiqma usang pendidikan kita
ditandai dengan siswa yang
senantiasa duduk rapi di dalam kelas,
lebih banyak diam, tidak berani
menyampaikan pendapat dan
tidak berani berdebat dengan guru
soal ilmu,adalah ditandai sebagai anak
atau siswa yang bagus.
Dengan
pola tadi, potensi diri sianak tidak tergarap dengan maksimal. Guru sibuk
dengan transfer materi pelajaran, abai
soal pemetaan potensi diri siswanya. Kalimat motivasi dan sugesti mimpi masa
depan siswa tidak diberikan secara marathon. Padahal pada jiwa dan diri siswa harus dibangunkan
mental dan semangat hidup untuk maju dan
berhasil. Memberikan arahan dan pendampingan untuk membangun mimpi masa depan melalui
rasa percaya diri siswa adalah tugas sekolah seharusnya.
Oleh
karena itu, seorang psikolog Indonesia, Rozamona A. Gandi, dalam bukunya Membangun
Disiplin Positif Pada Anak, memberikan solusi bagaimana cara membentuk perilaku, Pertama, berikan
pemahaman tentang perilaku yang ingin dibentuk. Kedua,latihkan perilaku yang ingin
dibentuk. Contoh, Jika ingin anak jujur,
maka berikan pemahaman tentang jujur disertai contohnya. Tentu Orang tua atau guru, yang memulai hal itu. Ketiga, sekolah dan orang tua mempelajari bagaimana
anak tumbuh membangun perilaku positifnya. Kemudian meningkatkan keterampilan
mengarahkan anak pada hal-hal positif, melatih kedisiplinan positif,
mendengarkan anak, dan membiasakan komunikasi positif dengan anak. (Kordinator
Litbang dan Humas Ponpes Diniyyah Limo Jurai
Sungai Pua Agam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar